Fajar Baru, Bro. Bukan Senjakala: Refleksi atas media tradisional

'Selaksa tentara dapat dibendung, tapi satu ide yang matang dan sudah waktunya menetas tak akan bisa dicegah.' --Victor Hugo
Dunia kita tunggang langgang, demikian para teoretikus sosial menamainya. Pelan tapi pasti kita mungkin sudah mulai memahami di tataran pengetahuan, meskipun pengalaman memperlihatkan bahwa kita sering kali sulit mengerti dan memahami perubahan yang tengah terjadi. Kemampuan kita untuk menangkap, mencerna, memilah informasi selalu terbata-bata, tergagap-gagap, bukan karena kurang canggih dan pintar, melainkan teknologi tengah menuliskan sejarahnya sendiri dan semua tengah mencari peran apa yang bisa dimainkan dalam sejarah yang tengah ditulis. 
Ada beberapa ciri khas dunia dengan ekosistem baru yang dihadapi media:
- Kebiasaan baru 'pembaca' atau 'pemirsa' untuk mengkonsumsi informasi 24 jam. Cara mengonsumsi pun tambah rakus dan ber-gaya. Tidak puas dengan sekedar teks, tapi juga harus pakai gambar, video dan infografis, ‘meme’ dan karikatur relevan kalau perlu.
- Kenyataan bahwa media konvensional lamban bereaksi terhadap perubahan preferensi pembaca/pemirsa
- Kecepatan media online terhadap perubahan di pasar membuat media konvesional, utamanya koran, tampaknya basi
Memang dulunya media konvensional, terutama koran, menjadi salah satu sumber rujukan berita terbaik. Namun kehadiran kanal berita 24 jam dari portal berita yang baik mengubah cara pembaca mengonsumsi berita. 
Bahkan sejak lama sudah umum diketahui bahwa orang muda cenderung tidak membaca berita. Hanya ketika mereka dewasa lah mereka mulai membaca berita. Ketika Internet datang, belum ada bukti pula yang menunjukkan bahwa pengguna Internet adalah juga pembaca berita. Tidak serta merta pula media konvensional kehilangan pemirsa: koran kehilangan pembaca, TV kekurangan pemirsa, radio kehabisan pendengar. Kendati media online tumbuh seperti jamur, media koran, radio, tetap punya tempat tumbuh. Media online rupanya secara historis tidak hadir sebagai pemeran pengganti, tetapi sebagai pemain baru yang meramaikan jagat media.

Konvergensi media memberi keleluasaan untuk menjangkau pembaca dalam situasi apapun yang mereka hadapi, pilihan delivery berita yang mereka kehendaki. Pada zaman pra-Internet, media konvensional berkuasa dan berpengaruh, mendikte kapan dan bagaimana berita akan tersaji. Sekarang ini, dunia media beralih dari kontrol terhadap berita ke pertempuran untuk merebut perhatian pembaca. Belum lagi kita menyaksikan betapa pembaca online sekarang ini sangat bersemangat menjumpai bahwa pilihan berita tersedia berlimpah ruah bagi mereka. Mengadopsi siklus 24 jam tentu menjadi niscaya dan bukan lagi pilihan.
Yang utama namun sering untuk tidak mengatakan 'selalu terlupakan' justru tantangan untuk membangun sumber daya manusia yang memiliki genetik hibrida baru, karakter dan tabiat yang akrab serta trampil dengan teknologi informasi.Awak media yang menyesuaikan diri dengan cara bekerja yang lintas platform distribusi. Gaya tutur dan bercerita serta ber-berita baru. Sayangnya memang belum ada model rujukan. Karena itu, eksperimen dalam spektrum yang terukur adalah keharusan. Belum lagi struktur-struktur baru dan cara kerja baru di media yang memungkinkan penciptaan berita yang lebih beragam dan berkualitas dengan tetap mempertahankan kontrol terhadap biaya. Harus ada perubahan struktur dan upgrade dan pengayaan sistem. 
Ujung-ujungnya adalah supaya media dapat mempertahankan relasi historis yang pernah dimiliki oleh media konvensional dengan pembaca, tetap relevan dan bermutu. 
Perlu diingat bahwa pembaca sekarang ini seperti hidup diliputi 'kabut berita' karena ketersediaan sumber berita. Mereka akan mencari sumber yang mereka rasa pas dengan selera dan kebutuhan mereka. Karena itu terkadang kita harus menerima kenyataan bahwa kenyamanan terhadap berita terkadang lebih penting bagi pembaca daripada isi dan kualitas. Mengawinkan kenyamanan dan kualitas adalah salah satu bahan pertimbangan untuk dicarikan titik keseimbangannya. 
Perubahan pola konsumsi media, mempengaruhi bagaimana media merespon perubahan. Yang terpenting adalah menyajikan berita dengan lebih baik daripada bentuk yang telah ada dan dengan demikian memberi alasan eksistensial bagi jurnalisme gaya baru untuk memperbaiki kualitas jurnalisme yang sudah ada, bukan justru menurunkan kualitasnya. 

Post a Comment

Previous Post Next Post