Startup Indonesia: Akankah segera ramai-ramai binasa seperti Dotcom Bubble?

Membaca berita-berita terbaru di Wall Street Journal mengenai startup-startup di Amerika yang telah menjadi raksasa-raksasa kecil di industri internet global membuat saya berpikir. Bagaimana nasib startup-startup Indonesia ke depan?

Berita yang saya baca sama sekali tidak positif alias buruk.

Groupon, raksasa bisnis diskon atas transaksi produk dan layanan, mengumumkan bahwa setidaknya dia akan memangkas 10 persen dari karyawan di jaringan internasionalnya sebagai bagian dari restrukturisasi.  Kurang lebih 1.100 karyawan dari 12.000 karyawan akan dikeluarkan hingga tahun depan.  Dana sebesar $35 juta pun telah disiapkan untuk membayar pesangn dan kompensasi pemecatan. Alasannya? Bisnis yang berbasis di Chicago ini menghadapi kenyataan global: pertumbuhan konsumen yang melambat dan perjuangan untuk menambah marjin inventori.

Sementara itu, perusahaan invention startup Quirky yang spesialisasinya mengembangkan produk untuk mengontrol perabotan rumah tangga dengan HP dan device lain telah mengajukan status bangkrut.

Penyedia layanan langganan e-book Oyster yang diluncurkan dengan gegap gempita di tahun 2013 juga menyatakan bahwa mereka akan hengkang dari bisnis ini dan akan mengembalikan uang para pelanggan dalam bulan-bulan mendatang. Layanan menyediakan akses untuk membaca lebih dari 1 juta judul buku e-book dengan bayaran $.9.95 per bulan.

CEO Oyster, Eric Stromberg mengatakan menulis dalam blognya bahwa model bisnis ini mungkin akan muncul kembali di kemudian hari dalam bentuk lain. "Kami yakin lebih dari yang sudah sudah bahwa telpon akan menjadi piranti untuk membaca yang penting di dekade depan dan memungkinkan akses ke ilmu pengetahuan dan kisah dari milyaran manusia di dunia. Ke depan, kami merasa alangkah baiknya kami mengambil kesempatan baru untuk merealisasikan visi kami mengenai e-book."

Beberapa pemain e-book lain, termasuk Amazon yang mengoperasikan program Kindle Unlimited, Scribd, yang tetap menjadi perusahaan privat berbasis di San Fransisco, masih bertahan meskipun bisnis tampaknya tak lagi menjanjikan. CEO Scribd Trip Adler di akhir Juni lalu mengatakan di website perusahaannya bahwa Scribd tengah menghadapi beberapa kesulitan yang terus memburuk dan menyiratkan bahwa beberapa judul buku roman tak akan lagi menjadi bagian dari paket $8,99 layanan bulanannya.

Tak cuman berita itu, dari ranah industri musik streaming, Deezer yang berkedudukan di Prancis juga tengah mempersiapkan diri untuk IPO untuk mendulang modal segar dalam rangka mempercepat pertumbuhan di tengah kompetisi dari pesaing yang lebih kaya dan besar, termasuk Apple. Deezer yang didirikan tahun 2007 mengklaim memiliki 6 juta pelanggan di 180 negara.

Meskipun CEO Deezer mengatakan bahwa "Streaming akan menjadi masa depan bisnis musik dan kami ini baru mengawalinya," debut ke bursa menimbulkan tanda tanya akan pertimbangan ekonomi terhadap kelangsungan bisnis streaming di mana pelanggan dapat mengakses perpustakaan musik daripada membeli sendiri lagu atau album musik yang disukai.

Streaming memang telah menggerogoti penjualan fisik dan digital selama beberapa tahun terakhir dan para seniman mengeluh mengenai pembayaran royalti yang kecil dan seret.

Deezer tak sendiri. Kompetitornya Spotify juga tak kunjung meraup untung. Spotify yang mengklaim 20 juta pelanggan berbayar menunjukkan kerugian besar senilai 160 juta euro dari pendapatan senilai 1,08 milyar euro d tahun 2014. Baik Deezer dan Spotify harus beradu kuat dengan raksasa Apple yang baru-baru ini di bulan Juni meluncurkan layanan langganan Apple Music.



Bagaimana dengan startup Indonesia?
Berita itu bagi saya berbicara mengenai masalah klasik sejak dotcom bubble dari dekade lalu, yaitu monetisasi. Saya sendiri memulai beberapa proyek startup dan menghadapi kepusingan itu. Monetisasi rupanya belum terpecahkan, bahkan di negeri sejuta startup di mana gagasan dan inovasi baru startup diinkubasi dan ditetaskan. Memang mungkin belum ada yang meneliti berapa tingkat pertumbuhan startup dibandingkan dengan angka kematian/kebangkrutan startup akhir-akhir ini. Namun kasus-kasus di atas kembali menggarisbawahi jebakan yang mengancam para startup, termasuk startup Indonesia.

Sebut saja Tokopedia yang beberapa tahun bertahan dan bahkan mendapat gelontoran dana besar. Kaskus, Blibli, Lazada, dan terakhir Gojek (saya tulis saja yang melintas di otak karena sudah tidak bisa lagi mengejar kecepatan startup baru yang muncul dan mati dalam hitungan bulan atau tahun). Bagaimana mereka akan memonetisasi bisnis mereka?

Ya, saya memang mempunyai kebiasaan baru memesan Gojek akhir-akhir ini, lebih karena tarif Rp10 ribu yang tak masuk akal untuk layanan pesan antar berbasis aplikasi yang tentunya butuh kucuran modal besar. Pertanyaannya, sampai kapan startup-startup itu akan bertahan, tumbuh dan menjadi besar, dan kemudian muncul tagihan dari penanam modal: mana untungnya?

Sebut saya berpandangan kuno dan tradisional terhadap ekonomi digital Indonesia. Jika startup Indonesia yang kebanyakan sekedar meniru dan mengikuti jejak langkah startup dari negara pendahulu terutama dalam hal model bisnis dan strategi ekonomi digital, maka saya cukup berani bertaruh, nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan startup-startup yang disebutkan di atas. Please correct me if I am wrong.



Ditulis dari kawasan langit Eropa, medio September 2015
Sumber: Wall Street Journal, www.cbinsights.com



Previous Post Next Post