Paradoks Urban: Beda Demo FPI dengan Occupy Central Hong Kong



Para habib di Front Pembela Islam sepertinya perlu belajar dari remaja belia yang berdemonstrasi di Hong Kong dalam kampanye Occupy Central. Alih alih, bersenjata batu, golok dan tongkat, gerakan protes yang menantang secara serius otoritas Beijing sejak episode Tiananmen Square tahun 1989, 'bersenjata' payung, simbol hidup keseharian masyarakat, pelindung dari terik matahari dan hujan, dan saat demo, pelindung dari semprotan gas air mata dan merica.

Alih alih menggunakan kekerasan yang melukai aparat kepolisian, para mahasiswa itu membuat pemerintahan Tiongkok cemas bukan kepalang dan terpaksa mem-block situs sharing foto Instagram dan menyensor situs sosial media Sina Weibo.

Mana yang lebih menakutkan. Kerusakan di halaman Balai Kota dan ruangan wakil gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama aka Ahok serta berantakannya fasilitas umum di sekitar Monas, ataukah foto-foto yang diambil dan diunggah dari kawasan sentral Hong Kong yang memperlihatkan para mahasiswa yang cekikikan sambil mengerjakan tugas kuliah seraya meminta sumbangan makanan pada orang yang lewat dan menjumputi sampah-sampah yang berserakan.

Jika di demo penolakan Ahok menjadi gubernur Jakarta, polisi dari Polda Metro Jaya kemudian menyambangi markas FPI untuk mencari dalang dan barang bukti kekerasan, di demo Hong Kong, cukup cari jawabannya dalam Buku Petunjuk Ketidakpatuhan "Manual of Disobedience" yang tersedia secara online beberapa hari sebelum kampanye, dan bisa diakses dalam bahasa Mandarin maupun Inggris. Buku petunjuk itu menguraikan langkah dan mission statement, taktik gerakan, aturan main demonstrasi yang tanpa kekerasan, hukum yang mungkin dilanggar, dan prosedur yang wajib ditaati saat seseorang ditahan pihak yang berwajib.

Jika korlap demo FPI diukur dengan keberanian dan kenekatan, yang paling tega yang jadi korlap, pendemo di Hong Kong harus menjadi model pengejawantahan nilai keadilan, toleransi, cinta dan perhatian bagi masyarakat.

Motif demo juga bukan nasi kotak dan selembar rupiah berwarna merah atau biru, tetapi dukungan publik atas perjuangan melawan penindasan yang dilakukan melalui persiapan yang teliti, latihan dan disiplin, kombinasi yang jarang ditemukan di gerakan protes manapun. Bikin demo yang berisik, teriak-teriak dan bermuka garang lebih gampang daripada demo yang santun dan membawa pesan perdamaian.

Mungkin bisa diusulkan agar bmenjadi program FPI tahun depan: studi banding mengenai cara berdemonstrasi yang santun ke Hong Kong. Siapa tahu?

Post a Comment

Previous Post Next Post