Berjejaring sosial dan Berteknologi Informasi pun Perlu Fatsoen

Kamus Besar Bahasa Indonesia hanya menerjemahkan fatsun atau fatsoen dari bahasa Belanda dengan frasa singkat: sopan santun. Istilah fatsun lebih sering ditempelkan di ranah politik, meskipun yang namanya sopan santun tentu berlaku umum di kehidupan dan interaksi bersosial.

Orang yang punya fatsun, dianggap lebih bisa diterima secara sosial dalam tata pergaulan lumrah. Sebaliknya, orang yang tidak punya fatsun dianggap aneh dan menyimpang.

Biasanya, fatsun tidak berdampak apa-apa secara pribadi jika orang tidak mengindahkannya. Wakil gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dilabeli oleh sebuah media nasional sebagai 'tidak punya fatsun' karena menolak mendukung RUU pilkada yang diusung oleh partai yang merasa berjasa mengantarkan Ahok ke kursi DKI 2. Tidak ada sanksi hukum yang mengikuti.

Tapi Indonesia memang bukan negara yang serba biasanya. Seorang mahasiswa Australia yang pernah belajar di Indonesia menamai Indonesia, the land of exceptions, negeri yang semua serba kecuali, serba tak biasanya. Fatsun itu abu-abu, apalagi di dunia maya, media sosial, dan teknologi informasi, di mana regulasinya masih gegar budaya. Fatsun bisa meskipun tidak selalu, membawa konsekuensi hukum.

Kasus Florence versus sebagian warga Yogya beberapa waktu yang lalu segera menyajikan pemandangan yang absurd karena di satu pihak, 'kekeliruan' Florence 'hanya' urusan fatsun (banyak tanda kutip untuk kepentingan fatsun juga). Namun, yang dilakukan sebagian warga, polisi, pihak kampus tempat Florence menimba ilmu, kasus ini dianggap lebih dari urusan fatsun. Karena itu, dianggap lumrah dan bisa diterima ketika ada orang ramai-ramai melakukan cyber bullying terhadap Florence atau mungkin lebih tepat dikatakan cyber mobbing atau pengeroyokan cyber. Lagi-lagi, Indonesia jagonya perkecualian, dan kasus inipun termasuk yang dikecualikan.

Majalah komputer Chip mengulas urusan cyber bullying ini baru-baru ini. Cyber bullying mengacu pada KUHP, terutama pasal penghinaan (310) yang defisit dengan frasa "diketahui umum" dan "di muka umum" di mana menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 menyatakan bahwa penghinaan yang diatur KUHP tidak menjangkau penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber karena ada unsur "di muka umum." Memasukkan pemahaman "disiarkan", "diketahui umum" tidak memadai karena diperlukan rumusan yang lebih luas, seperti "mendistribusikan", "mentransmisikan", "membuat dapat diakses." Karena itu, cyber bullying diatur oleh UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi Teknologi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-undang mengatur mengenai larangan dan sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik, dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, pengancaman hingga ancaman kekerasan melalui media elektronik. Sanksi pidananya paling lama 6 sampai 12 tahun, dan/atau denda paling banyak Rp `1 milyar sampai Rp 2 milyar.

Mengingat berbagai konsekuensi yang mengintai dan bisa terjadi terhadap para warga dunia siber jika bermedia sosial dan berteknologi informasi tanpa fatsun, tidak ada salahnya untuk mulai berhati-hati dalam mengutarakan pendapat dan mengunggah segala sesuatu di media sosial.

Diinspirasi oleh tulisan Klasika Kompas 6 Oktober.






Sent from my iPad

Post a Comment

Previous Post Next Post