Data Digital, Bualan Teknologis dan Nasib Kemanusiaan


Pada suatu hari, Nicholas Negroponte, pendiri Media Lab pada Massachusetts Institute of Technology, berkunjung ke salah satu pabrik sirkuit komputer di Amerika Serikat. Di meja resepsionis, petugas meminta Negroponte mengeluarkan laptop yang dibawanya. Sang petugas menanyakan nomor seri laptop dan taksiran harga laptop. Negroponte mengeluarkan laptop dari tasnya dan memperlihatkan kepada sang resepsionis. 

“Harganya sekitar 1 hingga 2 juta dolar Amerika,” kata Negroponte dengan yakin. 

“Tidak mungkin,” sanggah sang resepsionis “Laptop ini paling mahal tak lebih dari 2000 dolar.” 

Ya, bagi si resepsionis, laptop tua Negroponte tak lebih dari sebongkah perangkat keras. Data tak kasat mata tidak masuk hitungan. Sebaliknya, bagi Negroponte, data justru menyimpan harta karun yang sesungguhnya. Laptop hanya bernilai ekonomis tinggi karena menyimpan berbagai data penting.

Pandangan tentang nilai ekonomis data itu sepertinya mendorong seorang peretas menawarkan sebanyak 230 ribu data sensitif pasien korona di Indonesia di situs terbuka RaidForums, situs yang juga digunakan peretas untuk menjual data marketplace Tokopedia beberapa waktu sebelumnya. Peretas mengklaim memiliki database pribadi pasien, termasuk nama, alamat, nomor telepon, kantor, hingga riwayat positif atau negatif Covid-19. Peretas membanderol database seharga 300 dolar Amerika. 

Data juga dilihat sekedar punya nilai ekonomis, tetapi juga memiliki nilai strategis. Data sangat berguna dan penting dalam proses pengambilan keputusan publik. Tak heran, pemerintah melalui Gugus Tugas Covid-19 sejak awal pandemi, mengumumkan data pasien positif, pasien dalam pengawasan, pasien meninggal, pasien sembuh, dan semua data lain. Meskipun banyak pihak meragukan akurasi data yang disampaikan, data menjadi parameter pemerintah menentukan kegawatan pandemi dan langkah-langkah terukur yang ditempuh, seperti dalam kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). 

Nilai dan peran data yang sekarang ini sedemikian besar dan penting tidak lepas dari perkembangan data sebagai salah satu anak kandung teknologi. Seperti halnya teknologi informasi yang berkembang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir, teknologi data pun tumbuh secara eksponensial. 

Dua dekade lalu, para pengguna komputer akrab dengan floppy disc berkapasitas 1.44 megabyte. Sekarang ini floppy disc mungkin tak diingat lagi karena hampir tidak ada komputer meja atau laptop yang memiliki slot untuk membaca floppy disc. Dan, mungkin tak terbayangkan bagi pengguna komputer di generasi awal bahwa sebuah kartu SD mini meskipun jauh lebih kecil dari floppy disc mempunyai kapasitas memori ribuan kali lipat. Semua itu berkat perkembangan teknologi data yang memungkinkan data dikompresi sehingga dapat menjadi semakin efisien. Kapasitas memori penyimpanan data bisa diperbesar tanpa harus membesarkan perangkat kerasnya; bahkan dimungkinkan perangkat kerasnya disulap semini mungkin. 

Tak cukup dengan itu, kapasitas memori dibuat tak lagi relevan dengan inovasi komputasi awan. Alih alih menyimpan data di komputer atau gawai sendiri, orang bisa menyimpan semua file di Cloud atau awan yang tak lain dan tak bukan adalah sentra-sentra data yang tersebar di seluruh dunia namun terkoneksi satu sama lain. Asal Internet kencang, data bisa diakses kapan pun dari mana pun. 

Dalam perkembangannya, teknologi data tak lepas dari perkembangan Internet sebagai penggerak utama dari seluruh perkembangan teknologi informasi.

Awalnya, Internet sekedar menghubungkan aktivitas dalam jejaring antarkomputer (The Internet of Computers) sehingga data yang disimpan di komputerlah yang dipertukarkan. 

Selanjutnya, sebagaimana teknologi berjalan mengikuti logikanya sendiri, segala data dari berbagai hal yang ada dan terjadi di muka bumi ini dikumpulkan secara masif, semakin mandiri, semakin hadir di mana-mana (ubiquitous), semakin terkoneksi satu dengan yang lain.  Data dikumpulkan dan dibagikan melalui berbagai piranti pintar yang dibenami kemampuan antarmuka agar bisa terkoneksi dengan piranti pintar lainnya dalam bingkai ekosistem semesta digital: The Internet of Things. CCTV, lemari es cerdas, AC dengan sensor gerak, lampu lalu lintas, gelang perekam biometrik untuk aktivitas olahraga adalah beberapa piranti cerdas yang hadir di era ini. 

Kemudian seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia untuk berinteraksi dengan mereka yang berada di tempat yang jauh, dikembangkanlah berbagai platform pengirim pesan baik berupa teks, suara hingga video. Lebih jauh teknologi berkembang dengan diciptakan berbagai aplikasi yang memungkinkan interaksi di ruang-ruang virtual, media sosial, e-commerce.  Singkatnya, ruang dan waktu menjadi relatif manakala orang-orang yang berasal dari berbagai belahan bumi yang berbeda dimungkinkan berkomunikasi, berinteraksi, dan bertransaksi secara real time. Inilah era yang disebut sebagai The Internet of People. 

Dari sisi sains mengenai data (data science), strategi analisis data pun tidak lagi terpaku pada pakem yang dipakai selama beberapa dekade belakangan bahwa sebuah skema atau struktur sudah diciptakan terlebih dahulu sebelum data dituliskan dalam database (schema-on-write). Jika mengikuti pakem data tersebut, sebagian besar set data niscaya dianggap tak relevan, konsisten dan ‘bersih’ dalam konteks kepentingan terkait. Sebagian besar data itu tidak diunggah untuk disimpan secara digital karena dianggap tidak relevan. Di sini, peran manusia masih sangat besar dalam memilah dan memilih mana data yang relevan atau tidak untuk disimpan. Skema ini mengingatkan kita pada kisah dalam film Minority Report dibintangi Tom Cruise tahun 2002. Film itu kurang lebih mengulik nasib data yang tidak diunggah dan dibuang karena dianggap tidak relevan, tidak konsisten dan ‘kotor’.

Seiring dengan perkembangan kecerdasan buatan, teknologi data pun berkembang dengan tuntutan lalu lintas data yang semakin cepat ditambah dengan kapasitas data yang semakin besar. Atas nama semangat demokratisasi data bahwa semua data penting sekecil apapun itu, maka dikembangkan strategi baru schema-on-read dimana data kasar dan apa adanya secara keseluruhannya diunggah di jejaring raksasa Big Data menjadi serangkaian data tanpa atribusi, kategorisasi, struktur yang dibangun secara a priori

Sesuai namanya, skema, kategori, atribusi baru diciptakan kemudian manakala data tersimpan dibaca, dianalisis, dikelompokkan dalam berbagai sudut pandang dan konteks yang baru, untuk kepentingan-kepentingan lain melibatkan berbagai pihak. 

Sebagai gambaran cara kerja strategi ini biasa dipakai dalam teknologi database yang sering dipakai oleh platform media sosial. Ketika pengguna media sosial menerima saran dari penyedia platform mengenai topik tertentu untuk dilihat, sebenarnya saran itu hasil dari skema, kategorisasi, dan struktur yang diciptakan berdasarkan rekam jejak digital si pengguna yang memiliki kebiasaan dan preferensi membaca topik-topik tertentu. Jejak itu bisa jadi sangat detil dan subtil hingga pola baca bola mata kita, berapa lama waktu yang dihabiskan, bagian mana yang diklik, dan aktivitas apa yang kemudian dilakukan. Berdasarkan perilaku itu, diciptalah serangkaian skema untuk mengelompokkan topik serupa yang juga diminati oleh pengguna sosial media yang lain, dan disajikan sebagai struktur data yang seolah personal dan unik bagi si pengguna. 

Paradoksnya, semakin maju teknologi data, semakin minimal peran manusia dilibatkan. Semua berjalan secara senyap namun masif melibatkan lalu lalang data nan deras. 

Celakanya, data dan seluruh produk turunan data itu sekarang tiba-tiba menjadi faktor penentu untuk semua urusan peradaban kemanusiaan, mulai dari ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan. Termasuk, terkadang hidup-mati manusia seperti dalam hal data tatalaksana kesehatan. 

Bualan teknologis dalam perkembangan teknologi data 

Segenap kisah besar teknologi dan data di atas mungkin sudah menjadi narasi teknologi yang sehari-hari digaungkan di mana-mana dan dibahas secara luas sampai-sampai terdengar seperti propaganda. Karena itu, kiranya penting untuk menyimak beberapa catatan yang jauh-jauh hari dinubuatkan oleh filsuf Prancis Jacques Ellul mengenai berbagai problem mendasar teknologis yang sering luput dari hitungan dan perhatian manusia digital di zaman ini. 

Secara provokatif, Ellul menyebutnya sebagai 'bualan teknologis’ (technological bluff). Alih-alih mengalir bersama narasi besar mengenai perkembangan teknologi dan anak cucunya, Ellul mengundang segenap manusia untuk bersikap kritis dengan meneliti dan menelisik apa saja yang tercecer dalam perlombaan lari teknologi. Tujuan akhirnya tentu untuk mengembalikan fitrah teknologi bagi kemanusiaan yang semakin manusiawi.    

“Saya berbicara mengenai bualan teknologis, tentang omong kosong luar biasa di mana diskusi mengenai teknik mengepung kita, membuat kita percaya bahwa segala sesuatu [adalah teknik] dan lebih buruk dari itu, mengubah seluruh sikap terhadap teknik: bualan para politisi, bualan media, bualan para teknisi pada saat mereka lebih banyak BERBICARA mengenai hal-hal teknis daridapa senyatanya bekerja berdasarkan teknik itu; bualan publisitas; bualan tentang model-model ekonomi..Dan ketika saya mengatakan bualan, adalah ketika begitu banyak kesuksesan dan eksploitasi yang disematkan pada teknik (tanpa menghitung ongkos atau manfaat atau risiko) hanya karena teknik terlanjur dipandang sebagai satu-satunya solusi atas permasalahan kolektif (pengangguran, kesengsaraan Negara Dunia Ketiga, polusi, peran) atau pun problematika individu (kesehatan, hidup keluarga, bahkan makna hidup), dan karena pada saat yang sama teknik dianggap satu-satunya kesempatan bagi kemajuan dan perkembangan peradaban. 

Dinamakan bualan karena kemungkinan efektivitasnya dilipatgandakan ratusan kali di berbagai wacana sedangkan aspek negatifnya disembunyikan. Dan bualan itu berdampak besar karena mengubah teknik menjadi secara implisit dan tanpa dikehendaki menjadi satu satunya harapan terakhir menjadi harapan terakhir yang eksplisit dan dikehendaki. Dengan demikian, kita pun dilempar ke dunia yang penuh tipu daya dan distraksi."  (Ellul, Halaman xvi).


Dalam perspektif bualan teknologis, setidaknya ada empat proposisi yang perlu diperhatikan bagi manusia digital masa kini dalam relasi dengan teknologi data. 

Pertama, setiap perkembangan teknologi senantiasa menimbulkan biaya yang harus dibayar. Pun dalam perkembangan teknologi data. Pertanyaannya adalah berapa dan apa saja harga yang harus dibayar manusia di dalam perkembangan teknologi data?

Agar tidak terlalu mengawang-awang, kita bisa bertanya pada banyak orang tua murid yang di masa pandemi yang berlarut-larut ini tiba-tiba dihadapkan pada masalah baru: koneksi Internet sebagai prasyarat untuk bertukar data (baca: belajar online secara daring). Media melaporkan berbagai kisah mengenai kesenjangan digital masyarakat Indonesia. Tidak hanya dalam koneksi internet, ketidakmerataan sebaran infrastruktur pendukung seperti komputer, HP bagi semua pihak terkait: guru dan murid, juga menjadi masalah untuk menyelenggarakan kegiatan secara daring sebagai ganti tatap muka. Berapa banyak kuota, pulsa yang musti disisihkan setiap bulan hanya untuk aktivitas pendidikan? Bagaimana dengan pengeluaran untuk aktivitas lain? Rasanya seluruh kisah besar mengenai Big Data dan kecanggihan teknologi informasi menjadi kehilangan maknanya ketika membaca berita bahwa di banyak daerah terpencil, para guru dan murid tidak bisa melakukan pembelajaran daring karena mereka tidak punya akses Internet, tidak punya HP, wilayahnya tak terjangkau sinyal, atau bahkan tak terjangkau aliran listrik. 

Di sisi lain, ada persoalan yang lebih makro dan kompleks mengenai governance dan tatalaksana penguasaan terhadap samudra Big Data mengingat karakteristiknya yang lintas batas. Meminjam istilah Ellul, ujung-ujungnya perkembangan teknologi, termasuk data, bermuara pada lahirnya segelintir ‘aristokrat’ digital yang menguasai pusat-pusat data dan mengontrol seluruh akses dan penggunaan terhadap sentra-sentra data yang ada. Pemerintah negara dan publik de fakto tergantung pada kebaikan hati para aristokrat digital untuk bisa mengakses data. Bahkan untuk data-data pribadi yang dipanen dari publik sekalipun kini tidak lagi menjadi milik publik. Ditilik dari sudut ‘ongkos’ ini, perkembangan teknologi data menjadi terasa terlampau mahal.

Kedua, setiap tahapan perkembangan teknologi selalu memunculkan problem baru yang celakanya selalu lebih besar daripada persoalan yang pernah dipecahkan oleh teknologi itu sendiri. Dalam hal kemajuan teknologi data, sejak kapan data bahkan menjadi bagian dari masalah baru yang harus dipecahkan oleh manusia? Data yang dipanen oleh mesin secara masif, ubiquitous dan sering kali dilakukan secara serampangan, misalnya, memunculkan ancaman serius terhadap privasi dan keamanan diri sebagai target kejahatan dalam aktivitas daring. 

Salah satu konsekuensi logis dari data tentang manusia (human data) yang dipanen secara senyap dan masif adalah timbulnya keacuhan kolektif (collective ignorance) dimana begitu banyak data yang dikumpulkan mengenai diri manusia disimpan dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tanpa mereka sepengetahuan dan persetujuan dari sang empunya data. 

Pihak-pihak pengumpul data itu bahkan memiliki data yang jauh lebih lengkap daripada si manusia mengerti mengenai dirinya sendiri. Manakala data itu lewat satu hal atau berbagai cara jatuh ke tangan pihak yang punya niat jahat, maka manusia lah pihak yang paling dirugikan. Beberapa kasus pencurian data kartu kredit dan akun sosial media via aktivitas Phising, kebocoran informasi dalam transaksi e-commerce adalah contoh bagaimana problem baru yang dialami pengguna yang kalau terjadi kesalahan, pengguna lah pihak yang paling bisa dipersalahkan karena lalai mengamankan data dirinya. 

Konsekuensi logis lain dari pengumpulan data yang senyap dan masif adalah tumpukan sampah data berceceran dimana-mana. Fitur cadangan di telpon pintar kita misalnya tidak akan membedakan mana data yang penting dan perlu dicadangkan, mana yang tidak. Semua disalin secara otomatis dan seringkali memakan banyak memori dan akhirnya justru memperlambat kinerja perangkat. Belum lagi, aktivitas pengumpulan data aktivitas daring dalam bentuk cookies dan cache. Cache berfungsi untuk menyimpan data situs-situs yang pernah dikunjungi di browser agar akses ke halaman yang pernah dikunjungi dapat lebih cepat. Sementara itu, cookies menyimpan data username dan password saat log in ke situs sehingga saat ingin masuk ke situs yang pernah dikunjungi, kita tidak perlu mengetik ulang username dan password. Semakin banyak kegiatan semakin banyak cookies dan cache yang juga pada akhirnya menjadi sampah yang memakan ruang memori. Sampah ini di banyak kesempatan menjadi celah berbahaya seperti dalam kasus pencurian data yang telah disinggung di atas. 

Ketiga, 'dampak buruk' apa saja yang diam-diam dibawa serta oleh kuda troya teknologi data? Dampak buruk itu tidak bisa dipisahkan dengan seluruh kisah sukses tentang manfaat teknologi data. 

Salah satu contoh yang bisa diambil adalah tsunami data berupa hasutan, ujaran kebencian, ftinah, berita palsu di media sosial yang marak dalam tingkat yang mampu memantik konflik sosial dan perpecahan. Dari sudut pandang para pesimis, dampak buruk itu sering dikaitkan dengan gagalnya algoritma mencegah penyebaran data berbahaya. Tentu, para optimis akan memujinya sebagai pencapaian kesuksesan algoritma memultiplikasi dampak data terhadap masyarakat. 

Contoh lain bisa diambil sekitar kontroversi sekitar rilis intelegensi buatan untuk platform Twitter bernama Tay. Tay dirilis oleh Microsoft pada 23 Maret 2016 sebagai bot wicara yang mampu belajar dari bagaimana pengguna Twitter berinteraksi. Tay didesain bisa bersilangjawab dengan pengguna berumur antara 18-24 tahun. Sayangnya, Tay merekam juga umpatan dan ujaran kebencian yang juga sering beredar di platform mikrobloging itu. Tak heran ia kemudian mengeluarkan kicauan-kicauan rasis dan menyerang pengguna lain. Akhirnya, terpaksa Tay dinon-aktifkan hanya 16 jam setelah diluncurkan. 

Tay mengundang pertanyaan serius mengenai teknologi data yang mungkin fasih mengumpulkan data tapi gagap menangkap manusia dalam seluruh ambivalensinya, termasuk saat manusia mengungkap sisi gelap kemanusiaannya. 

Keempat, suasana ketidakpastian akibat berbagai efek yang tak pernah bisa diprediksi dalam perkembangan teknologi. Pun dalam hal kemajuan data yang berjalan cepat tanpa menunggu manusia mampu mengimbangi kecepatannya. Artinya, di satu sisi memang manusia dan masyarakat harus beradaptasi dengan perkembangan data yang ada. Itu tidak bisa ditawar. 

Manusia dan masyarakat harus ikut berlari atau terlempar keluar dan punah karena menjadi tak relevan. Teknologi menjadi bagian dari adaptasi untuk kelangsungan hidup di masa ini. Nah, dalam proses adaptasi itu eksperimen dan coba-coba adalah praktik yang wajib dilakukan. Tidak ada formula baku. Kalaupun ada, formula itu sesuatu yang likuid dan terus berevolusi bahkan bertransformasi sesuai dengan perubahan yang terjadi pada ekosistem digital. Kesalahan, kematian, kegagalan sudah menjadi bagian yang pasti dalam ketidakpastian. Banyak eksperimen dimaknai positif sebagai perjalanan untuk menjadi semakin cepat menemukan pemecah masalah. Semakin banyak masalah yang berhasil dipecahkan adalah tolok ukur kesuksesan perkembangan. 

Namun apakah tolok ukur yang sama bisa dipakai untuk menakar kemajuan bagi kemanusiaan dan peradaban? Jawabannya, belum tentu, sebagaimana tercermin dalam adagium: Change is inevitable, progress is optional, future is now (perubahan itu tak terhindarkan, kemajuan itu manasuka, dan masa depan itu ada di saat ini). 

Menemukan kembali kemanusiaan di hadirat data

Benang merah dari uraian di atas menempatkan perkembangan data sebagai faktor yang semakin determinan bagi kemanusiaan, seiring dengan semakin deterministiknya kebebasan manusia mengatur peradabannya. Sejatinya, perbedaan khas dari data dibandingkan dengan kemajuan manusia adalah sifatnya yang kausal, sebab-akibat, sedangkan manusia bersifat final atau berorientasi tujuan. Jika teknologi data semakin sempurna manakala setiap problem yang muncul berhasil dipecahkan, tidak demikian dengan manusia. Kemajuan peradaban justru manakala manusia bebas berjalan untuk merengkuh tujuan hidupnya. 

Upaya menyanggah bualan teknologis bisa menjadi salah satu ikhtiar krusial untuk menemukan kembali kemanusiaan di tengah laju perkembangan teknologi data. Proyek ini merupakan pekerjaan rumah multidisiplin untuk menempatkan kembali manusia dan peradaban di tengah pusaran samudra data sembari memperhatikan dan memperhitungkan mekanisme bagaimana manusia berinteraksi secara eksplisit dengan sistem-sistem dan data yang ada. 

Adalah desainer informasi Giorgia Lupi, salah satu dari sedikit orang yang merintis jalan-jalan setapak baru untuk menemukan lapis-lapis naratif nan kompleks mengenai manusia beserta peradabannya melalui visualisasi data, dan sebaliknya melalui jutaan data menciptakan visualisasi yang bercerita secara apik tentang jatuh bangun peradaban. Lupi menyebut proyeknya menemukan kemanusiaan melalui data sebagai "humanisme data.” Dalam salah satu eksperimennya, Lupi menciptakan karya seni visual instalasi berjudul The Room of Change yang dikerjakan dengan sketsa pensil warna di mana setiap warna dan guratan mewakili set data yang berbeda-beda, mulai dari populasi dunia hingga kepunahan binatang, konsumsi alkohol, hingga akses teknologi. 


“Kita tengah bereksperimen bagaimana membuat visualisasi data dapat menjadi suatu bahasa yang meditatif untuk mengurai makna bagi para pembaca...Pada akhirnya, alih-alih kita menggunakan data untuk [membuat kita] menjadi lebih efisien, kita akan selalu bisa menggunakan data untuk menjadi semakin manusiawi,” ungkap Lupi dalam paparannya bertajuk: Menemukan Kemanusiaan dalam Data, dalam forum wicara 99U di medio 2019. 

Dengan demikian, kita mungkin puas lagi dengan jawaban:"Tanya saja Facebook atau Alphabet (dulunya Google), mereka jauh lebih tahu tentang diri kamu ketimbang kamu sendiri,” atas pertanyaan: "Siapakah kamu?”. Kita akan mencari jawaban tentang apa yang luput dan gagal sepenuhnya dikisahkan kemajuan teknologi data, yakni segenap kekayaan kemanusiaan kita.  


Sumber

Negroponte, Nicholas, Being Digital, A Knopf, Inc, 1995

Ellul, Jacques, The Technological Bluff (diterjemahkan oleh Geoffrey W Bromiley), William B Eerdmans Publishing Company, 1990

*Damar Harsanto, 
Artikel ini telah dipublikasikan di Majalah BASIS edisi November 2020. 

Post a Comment

Previous Post Next Post