Tidak Baik Punya Terlalu Banyak Jejaring Media Sosial

Sebuah surat elektronik tak biasa mampir di inbox, sekadar mengingatkan bahwa mikroblog Twitter telah berusia 10 tahun. Di jagat virtual yang kejam dengan tingkat  kematian startup internet sangat tinggi, usia 10 tahun adalah pencapaian yang langka. Tentu pencapaian itu ditopang oleh lalu lintas cuitan pengguna yang tinggi.

Bersama Twitter, ada akun jejaring sosial media lain seperti Facebook, Path, Foursquare, Youtube, Flickr, Instagram, Google+, LinkedIn, Goodreads. Namun, dalam perjalanan waktu, orang tampaknya harus memilih ekosistem yang pas dengan profile pribadi masing-masing.

Ada suatu masa di mana saya merasa memiliki terlampau banyak akun, belum termasuk akun non personal, yang harus dikelola. Alhasil, beberapa aplikasi untuk mengelola beberapa aplikasi secara sekaligus sempat saya pakai. Mulanya ada asumsi naif bahwa saya musti ada, hadir dan terlibat aktif di semua platform sosial media, asumsi yang sepertinya masih diyakini oleh beberapa orang, bahkan outlet media secara buta. Ada suasana ingin mencoba bereksperimen dengan media sosial yang ada, toh gratis, tak ada ruginya, siapa tahu bisa viral.

Menarik mengamati beberapa orang menghubungkan API salah satu jejaring dengan jejaring yang lain, untuk kepentingan efisiensi. Posting di satu tempat, muncul juga di tempat lain. Posting di Path, muncul di Facebook sehingga tidak ada kewajiban untuk selalu mengupdate di semua jejaring sosial media yang dimili. Cukup update di jejaring utama saja.

Yang luput dari perhatian adalah netizen sekarang ini mulai sadar, mana jejaring yang utama mana jejaring sekunder. Misalnya, mereka yang aktif di Path atau Instagram dan menghubungkan jejaring itu dengan akun Facebook, akan terlihat pada update Facebook mereka, dari mana update pertama kali dibuat. Mereka akan segera tahu manakala respon atau komentar di sebuah posting, tidak segera mendapat reaksi balasan atau bahkan tak pernah dibalas sama sekali. Orang pun akan segera sadar bahwa mereka berhadapan dengan robot, bukan pribadi yang mereka kenal, yang tengah mengupdate status. Media sosial justru berkhianat terhadap khitahnya untuk menghubungkan dan membangun relasi sosial karena yang terjadi justru sebaliknya mengasingkan atau membatalkan relasi sosial.

Singkatnya, orang kini harus memilih di jejaring mana mereka akan terlibat aktif, dengan update, share/retweet, dlsb. Atau, kalaupun mereka memiliki akun di berbagai jejaring yang berbeda-beda, alih alih menghubungkan akun satu dengan yang lain, lebih bermanfaat untuk sedikit bersusah payah mengelola jejaring itu secara tersendiri. Hanya dengan cara itu hubungan yang bermakna dan relevan dibangun melalui jejaring media sosial dapat sungguh-sungguh terwujud.

Jadi, kalau akun media sosial Anda terhubung satu dengan yang lain, sebaiknya pisahkan lagi. Pilih platform jejaring yang Anda anggap paling pas dengan komunitas jaringan yang hendak dibangun, dan kelolalah secara berkala dan intensif.

Post a Comment

Previous Post Next Post