Ojek berbasis aplikasi, subkultur 'mangkal' dan segudang pekerjaan rumah

Beberapa saat yang lalu, beberapa pangkalan ojek di berbagai kawasan perumahan di Jakarta dan sekitarnya ditempel poster penolakan bernada ancaman terhadap ojek online berseragam. Di beberapa tempat, ancaman berubah menjadi aksi kekerasan. 

Di lapangan pertempuran sengit memang terjadi. Tak mau kalah, ojek online terkadang menyembunyikan helm di tas atau membalik seragamnya untuk menghindari hadangan ojek pangkalan. 

Berangsur-angsur situasi panas mereda dan berbalik manakala serbuan ojek online berbasis aplikasi bermunculan berebut kue layanan transportasi anti-macet metropolitan. Tak terasa sudah ada lima pemain ojek hingga Oktober ini: Gojek, Grabbike, Blu-jek, LadyJek, UberJek, dan menyusul Top Jek di jadwalkan bulan November. 

Pangkalan ojek konvensional mulai terlihat sepi. Karena order buat pengemudi ojek datang sendiri lewat aplikasi di gadget yang bersangkutan, sebenarnya pengemudi tak lagi perlu mangkal di tempat-tempat tertentu. 

Tapi entah mengapa subkultur 'mangkal' yang mungkin manifestasi subkultur yang lebih tua 'nongkrong' tidak serta merta hilang. Alhasil, tempat mangkal  bertebaran di pinggir-pinggir jalan dan trotoar, di mulut-mulut gang dan garasi rumah/toko kosong. 

Yang pasti bagi warga, kompetisi yang makin ramai adalah berkah untuk mempermudah dan mempermurah transportasi menembus kemacetan. 

Konsep ojek berbasis aplikasi ini adalah meningkatkan konektivitas melalui berbagi mobilitas. Konsep itu memberi alternatif jalan keluar dari kebuntuan daripada membangun infrastruktur jalan baru, selain berkontribusi mengurangi kepadatan lalu lintas, polusi dan menggulirkan perekonomian.

Memang ke depan masih belum jelas nasib ojek aplikasi ini seiring dengan tuntutan yang makin kompleks dari konsumen dan ekspektasi terhadap bisnis yang terus berkembang. Urusan keselamatan, kenyamanan, perlindungan terhadap privacy akan jadi tuntutan dari sisi pengguna layanan ke depan. Sementara, masalah profitabilitas, kesinambungan bisnis, perbaikan sistem validasi, asuransi, ketaatan pada regulasi, pembayaran pajak akan jadi pekerjaan rumah bagi penyedia aplikasi. Tak lupa regulator perlu mengejar ketertinggalan untuk mempersiapkan regulasi dan stardardisasi layanan ke depan. 

Makin banyak ya urusannya....

Post script:
Gojek melaporkan adanya penyalahgunaan yang melibatkan lebih dari 7000 pramudi Gojek dengan modus order fiktif melalui akun palsu untuk mendapatkan pendapatan jutaan per bulan. Tingginya kasus menyiratkan persoalan-persoalan ikutan yang masif dan belum diperhitungkan di tengah eforia cerita indah mengenai perkembangan layanan berbasis aplikasi. Mungkin itu bagian dari pendewasaan industri yang mungkin membuat investor dan inventor berpikir ulang mengenai upaya mengatasi persoalan itu.


Pada awal Januari 2016, programer bernama Yohanes Nugroho yang bermukim di Thailand juga menuliskan di blog pribadinya mengenai celah keamanan berupa bug di sistem operasi Gojek. Celah di aplikasi Android Gojek memungkinkan siapa saja mengintip bahkan mengubah data pengguna dan mitra lengkap dengan histori transaksi para pemilik akun Gojek.

Informasi mengenai bug ini sudah disampaikan kepada pihak Gojek sejak Agustus 2015, dan sebagian sudah diperbaiki. Namun, sang programmer mencatat bahwa masih banyak bug lain yang bisa dieksploitasi.

"Ternyata ketika saya coba lagi sebelum posting artikel ini, sebagian besar bug yang ada ternyata belum diperbaiki. Token OAuth disimpan, tapi tidak dipergunakan di semua request berikutnya," kata Yohanes.

Terhadap laporan mengenai bug itu, CEO Gojek Nadiem Makarim mengklain bahwa semua celah keamanan sudah diperbaiki.

Baca juga:
Euforia layanan berbasis aplikasi sudah pudar?

Gojek
Pemilik: Nadiem Makarim
Mulai operasi: 2011 melalui pesanan telpon. Januari 2015, peluncuran aplikasi Gojek
Wilayah : Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Bali, Makassar
Pendanaan: NSI Ventures dan sumber lain yang tidak didisclose
Layanan: ojek, kurir cepat, kurir belaja dan kurir makanan. 
Armada: 15.000 pengemudi
Sistem bagi hasil: 80 persen pengemudi, 20 persen Gojek
Metode pembayaran: tunai dan e-cash dari BCA (Gojek kredit)
Tarif: non rush hour Rp 15.000 jarak maksimal 25 kilometer (tarif flat) khusus layanan di Jakarta; rush hour Rp15.000 untuk 6 kilometer pertama dan Rp2.500 per kilometer berikutnya. Layanan lain tetap Rp10.000

GrabBike
Pemilik: Anthony Tan (Malaysia)
Mulai operasi: Akhir Mei 2015
Wilayah: Jakarta
Pendanaan: Tiger Global Management, Vertex Venture Holdings, GGV Capital, Hillhouse Capital, Qunar, Softbank
Layanan: ojek
Armada: 5.000 pengemudi (hingga Juli 2015)
Sistem bagi hasil: 90 persen pengemudi, 10 persen perusahaan
Metode pembayaran: tunai dan cashless payment (voucher dari Elevenia)
Tarif: promo dengan kode "NGEBIKEAJA" Rp 10.000 (non peak hour) Rp 20.000 (Senin-Jumat pukul 16:00-19:00)

Blu-Jek
Pemilik: Garret Kartono dan Michael Manuhutu
Mulai operasi: 18 September 2015
Wilayah : Jabodetabek
Pendanaan: self funding
Layanan: ojek, kurir belanjaan, pengiriman dokumen, kurir makanan
Armada: 1.000
Sistem bagi hasil: 80 persen pengemudi, 20 persen perusahaan
Metode pembayaran: e-cash Mandiri
Tarif: promosi gratis untuk jarak hingga 6 kilometer. Lebih dari 6 kilometer Rp25.000. Tarif normal Rp 20.000 per kilometer pertama dan Rp4.000 per kilometer berikutnya. Tarif promo: kode promo "blu:

LadyJek
Pemilik: Brian Mulyadi
Mulai operasi: 8 Oktober 2015
Wilayah: Jabodetabek
Layanan: ojek khusus penumpang wanita
Armada: 800
Sistem bagi hasil: 85 persen pengemudi, 15 persen perusahaan
Metode pembayaran: tunai, e-cash, XL tunai
Tarif: promosi: gratis untuk perjalanan 6 km pertama, Rp25.000 dan Rp 4000 per km berikutnya

UberJek
Pemilik: Aris Wahyudi
Mulai operasi: 21 Oktober 2015
Wilayah: Jabodetabek
Layanan: ojek, antar barang, ojek khusus penumpang wanita
Armada: perekrutan mulai 26 Oktober. Target 8000 pengemudi







  
Previous Post Next Post