Dewasa ini, urban dikaitkan dengan pendatang yang bermigrasi dari wilayah pedesaan ke perkotaan. Proses yang kemudian menjadi sangat terkenal saat ini sebagai urbanisasi. Tidak hanya orangnya yang bermigrasi, namun tentu juga budaya dan sub-budaya juga turut bercampur di kota dan memaksa kota untuk terus beradaptasi terhadap berbagai orang dan budaya yang datang.
Fsikiater FK UI-RSCM, dr Suryo Dharmono, SpKJ menyebut budaya urban adalah budaya transisional, yaitu budaya yang berkembang terburu-buru dan sifatnya labil sehingga menyebabkan tidak adanya pegangan.
Tren urbanisasi sendiri tidak hanya terjadi di Indonesia tentunya melainkan umum terjadi di seluruh dunia. Perserikatan Bangsa Bangsa mengatakan separo populasi dunia telah tinggal di perkotaan pada akhir 2008. Diprediksi bahwa di 2050, lebih dari 64 persen populasi di negara berkembang tinggal di daerah perkotaan, sedangkan di negara maju lebih dari 86 persen.
Karena proses urbanisasi itu menyangkut manusia dan kebudayaan maka proses ini berkenaan dengan berbagai disiplin ilmu seperti: geografi, sosiologi, ekonomi, tata kota, kesehatan masyarakat. Fenomena urbanisasi sangat dekat modernisasi, industrialisasi dan proses sosiologis rasionalisasi.
Gaya hidup urban
Gaya hidup urban sangat berkaitan dengan peleburan identitas. Peleburan identitas dalam gaya hidup urban bahkan dianggap sebagai pencitraan-pencitraan diri yang melampaui kehendak, bahkan rasionalitas dirinya. Hal tersebut menyebabkan tampilan wajah masyarakat urban pun bergeliat dalam kemeriahan lanskap kota dan perilaku masyarakat pesolek, di tengah keriuhan dan keterasingan dirinya dari realitas primordial.
Normalitas dan keteraturan sosial di dalam kultur urban sekaligus menunjukkan tingkat abnormalitas. Dalam perwajahannya yang elok nan seksi, tubuh-tubuh manusia moderen seolah tengah mengalami proses aktualisasi diri meski selalu muncul ironi di dalamnya. Di suatu massa ribuan, bahkan jutaan manusia, tampil sebagai individu yang seakan ingin tampil otentik, tetapi dalam keotentikannya sekaligus muncul abnormalitas dalam modus eksistensinya. Penyimpangan-penyimpangan itu tampak secara vulgar dalam bentuk budaya narsisme, hedonisme, dan konsumerisme, sehingga dalam batas tertentu keteraturan dan normalitas dunia kehidupan modern pun melahirkan schizophrenia budaya sebagaimana tampil dalam bentuk kapitalisme.
Tak ada lagi batasan teritori, bahasa, dan etnisitas dalam kultur urban. Semuanya melebur dalam gairah perayaan sekaligus pengorbanan yang lahir dari efek globalisasi. Manusia-manusia urban kini tampil sebagai ikon yang seolah telah meninggalkan batas tradisi dan bahasa serta perubahan modus produksi dan aktualisasi di dalamnya sehingga etalase kota pun diriuhkan oleh heterogenitas budaya. Dunia industri, iptek, dan informasi adalah realitas hidup sehari-hari yang terus gencar mengubah atau juga membentuk watak, pola hidup, gaya dan juga selera, dimana cenderung turut mengubah mentalitas masyarakat urban menjadi impulsif, labil, cepat marah, kurang sabar, kecemburuan yang tinggi, konsumtif, banyak menuntut, kasar dan buas, mudah tersinggung serta suka menekan.
Beberapa bagian disadur dari: http://adipamungkas.blogspot.com/2009/06/tattoo-dan-budaya-urban.html
Photo: JP/R. Berto Wedhatama