Generasi Y, Batik dan Filosofinya


Pemerhati branding Silih Agung Wasesa dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa generasi Y berada di balik popularitas batik akhir-akhir ini. Pemadanan batik ke dalam fashion populer oleh para penggiat kreatif muda menempatkan batik di panggung yang lebih besar dan luas.

Sebagai kelompok anak muda yang juga disebut generasi milenium yang lahir awal 1980 hingga awal 2000, mereka adalah warga pribumi digital sehingga lebih fasih dalam mengeksplorasi berbagai kanal media baru dan sosial media dalam mempromosikan batik secara viral.

Tak mengherankan kemudian, pemakaian batik menjadi tren baru karena di-buy in oleh pasar dan konsumen yang berasal dari lintas generasi.

Kompas melaporkan di halaman depan mengenai ajang pemilihan Putra Putri Batik Nusantara di Jakarta pada 28 September yang menampilkan para finalis yang tidak hanya sekedar memakai batik, namun menguasai wawasan mengenai motif dan filosofi kain.

I Gusti Made Kusuma dari Bali menyebutkan bahwa motif latohan pada kain batik Lasem terinspirasi tanaman latoh, sejenis rumput laut yang ada di pesisir Jawa Tengah, sementara Fransiska Oki Riang asal Solo menguraikan atik rifa'iyah yang punya ciri khas menghindari gambar utuh sosok binatang ataupun manusia. Lucunya, ketika para finalis itu sedang di panggung mendefinisikan setiap lembar batik, dewan juri terlihat sibut membolak-balik 'contekan' berisi deskpripsi setiap kain.

'Jujur, saya tidak hafal semua motif yang ditampilkan. Sekadar tahu, tetapi tak paham mendalam. Batik jlamprang, misalnya, sangat kaya warna dan cocok dipakai anak muda," kata perancang busana Musa Widyatmodjo.


Batik dan Filosofinya
Maraknya minat terhadap batik sering belum diimbangi dengan pemahaman terhadap batik karena informasi dan rujukan yang langka mengenai batik Nusantara. Akhirnya seringkali pemakai batik klasik memilih batik karena keindahannya saja, tanpa memahami ikhwal motif batik yang dipakai. Padahal setiap motif batik diciptakan dengan berbagai maksud dan harapan tertentu. Pengenalan motif secara basic diperlukan agar terhindar dari kesalahan memalukan, misalnya memakai dalam posisi terbalik.

Yang lebih penting dipahami, terkadang motif batik memiliki sejarah penciptaan yang terkait dengan laku dan amalan sang empu motif untuk menghasilkan kreasi melalui proses pengendapan diri, meditasi, demi mendapatkan wahyu. Membatik bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi mempunya dimensi tak kasat mata dan batiniah.

Belum lagi ritual yang mengiringi proses membatik yang panjang dan rumit sehingga menghasilkan motif batik yang diyakini menjadi sebuah mahakarya yang memiliki 'ruh', yang mungkin tidak terjadi di proses masal batik cap.

Go Tik Swan, salah satu Hamong Kriya Keraton Surakarta yang lebih dikenal dengan sebutan KRT Harjonagoro mengatakan' "Falsafah batik sebenarnya berakar pada petani, yang dibawa masuk ke keraton, lalu diperbaiki dan diperhalus. Baru kemudian timbul falsafah batik Keraton yang tidak lagi berpijak pada pertanian."(Batik Filosofi, Motif, dan Kegunaan, 2012). Maka, tak heran batik klasik awalnya menggunakan warna-warna tanah.


Bersambung...




Post a Comment

Previous Post Next Post