Melamar sebagai Sales Iklan, Dipanggil Wawancara Sebagai Jurnalis

Saya lulus dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta pada tahun 2000. 

Sebagai lulusan perguruan tinggi, tanpa ingar bingar acara wisuda-wisudaan, saya pun harus menghadapi kenyataan akan ketidakjelasan masa depan dan karir di tahun-tahun awal reformasi yang penuh pergolakan. 

Era dotcom yang hype-nya kurang lebih sama dengan zaman ini dimana bekerja di perusahaan rintisan menjadi salah satu pilihan. Pekerjaan apa saja akan saya lakoni. 

Sebagai anak kos yang menghidupi diri dengan mengajar full time sebagai pelatih gim khusus untuk bayi dan anak balita serta les privat Bahasa Inggris untuk seorang ibu rumah tangga, saya tidak mempunyai ekspektasi tinggi atas pekerjaan dan bayarannya. Potongan-potongan kliping lowongan kerja dari koran Kompas menjadi acuan utama untuk mengirim berbagai surat lamaran. 

Pada berbagai lamaran saya gantungkan ekspektasi, mulai dari  menjadi management trainee sebuah waralaba makanan cepat saji, menjadi penulis buku ajar di sebuah perusahaan penerbitan, menjadi jurnalis di perusahaan rintisan media digital Kopitime.com (yang sayangnya hanya bertahan seumur jagung di era dotcom bubble), hingga menjadi Account Executive koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post. Pada zaman itu, internet masih bayi dan mesin pencari Google belum berjaya untuk membantu menggali informasi mengenai latar belakang perusahaan yang saya lamar. 

Lamaran di Kopitime diproses dengan serangkaian tes psikologi yang berujung pada wawancara dengan salah satu redaktur yang menanyakan sebuah dilema etis dalam pekerjaan jurnalistik. Apa yang akan saya lakukan jika saya harus meliput sebuah kecelakaan dan harus memotret korban kecelakaan? Apakah saya akan mendahulukan pekerjaan jurnalistik atau menolong korban? Atas pertanyaan jebakan itu, saya berkelit dengan jawaban khas  lulusan gres institut filsafat: Tentu saya akan menolong korban atas nama kemanusiaan, baru mengerjakan pekerjaan jurnalistik. Dari mimik pewawancara saya menangkap dia tidak senang dengan jawaban saya. Dan betul, setelah wawancara saya menunggu panggilan kerja yang tidak kunjung datang. 

Sembari menunggu panggilan wawancara, saya mendapatkan tawaran dari seorang pemimpin redaksi penerbitan, seorang kenalan baru, yang menawarkan proyek menulis buku pengajaran agama untuk SMP. Tawaran saya terima meski tanpa kontrak atau penawaran nilai honorarium. Buku itu pun saya tulis dengan sepenuh hati karena saya memang suka menulis. Saya menggunakan referensi dari berbagai buku ajar yang pernah ada. Naskah pun saya kirimkan, namun tidak ada jawaban. Saya juga tidak sempat menanyakan lagi nasibnya karena saya menerima undangan wawancara untuk bekerja di koran yang menjadi impian masa SMA saya, The Jakarta Post. 

Saya diwawancara di bilangan Harmoni, Jakarta Pusat, di kantor periklanan koran tersebut. Pewawancara GM Iklan Jakarta Post, pak Chistian Tooy, melihat CV saya berulang-ulang kemudian langsung menyeletuk. "CV kamu itu kebanyakan tentang kepenulisan. Yakin kamu bisa keluar masuk hotel dan jualan iklan? Kenapa melamar sebagai AE?" 

Saya jawab spontan,"Terus terang saya tidak tahu posisi AE itu apa pekerjaannya. Yang saya tahu bekerja di Jakarta Post adalah cita-cita masa SMA saya ketika saya mengelola majalah dinding berbahasa Inggris Cocorico di Seminari Mertoyudan. Bagi saya, yang terpenting adalah masuk dan diterima dahulu bekerja di Jakarta Post. Nyantrik atau magang pun saya akan lakoni sembari belajar di Jakarta Post." Jawaban itu diinspirasi oleh cerita silat karya SH Mintardja mengenai Mas Karebet aka Jaka Tingkir ketika melamar mengabdi ke Kerajaan Demak. Dampak jawaban saya ternyata sungguh dahsyat.

Seminggu berselang, saya menerima dua pucuk surat, pertama surat berisi informasi bahwa saya TIDAK DITERIMA  di posisi AE menjadi penjual iklan Jakarta Post. Kedua, surat berisi PANGGILAN untuk mengikuti tes menulis dan wawancara sebagai jurnalis The Jakarta Post. 






Post a Comment

Previous Post Next Post